Wae Rebo telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.[i] Pada tahun 2012 rumah berbentuk kerucut Wae Rebo mendapat penghargaan dari UNESCO Asia Pacific Awards for cultural conservation. Mbaru niang (rumah berbentuk kerucut) mendapatkan penghargaan tertinggi, yaitu Award of Excellence. Penghargaan ini diberikan sebagai bagian dari upaya untuk melestarikan warisan budaya berbupa bangunan yang berumur lebih dari lima puluh tahun di kawasan asia pasifik.
1. Mengenal Wae Rebo
1.1. Daya tarik dan keunikan Wae Rebo
Wae Rebo termasuk dalam 50 desa wisata yang mendapat anugerah Desa Wisata Indonesia yang diberikan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam ajang itu, Wae Rebo dinobatkan sebagai juara satu ADWI 2021 untuk kategori Daya Tarik Wisata Alam, Budaya dan Buatan. Kemudian pada tahun yang sama , Desa Wae Rebo juga menjadi salah satu dari tiga desa yang mewakili Indonesia dalam ajang best tourism village yang di selenggarakan oleh UNWTO.[ii]
Tujuh rumah adat yang eksotis adalah daya tarik dan keunikan Wae Rebo. Rumah adat itu berbentuk kerucut. Secara singkat, rumah berbentuk kerucut itu terdiri dari lima tingkat. yaitu tingkat perta adalah tenda. Ini adalah ruang bagi penghuninya. Pada tingkat ini ada kamar-kamar bagi penghuni. Tingkat kedua adalah lobo tempat untuk menyimpan barang terutama bahan makanan dan barang-barang lain. Tingkat ketiga adalah lentar yang digunakan untuk menyimpan benih, tingkat keempat adalah lempa rae: sebagai tempat menyimpan cadangan makanan. Kelima adalah Hekang kode, yaitu tempat sacral untuk menyimpan sesajian.
Berkaitan dengan mbaru niang itu, daya tarik lain adalah cara hidup masyarakat setempat yang masih mempertahankan tradisi dan kearifan budaya. Jika beruntung, banyak atraksi dan ritual budaya yang dilaksanakan sebagai bagian dari cara hidup masyarakat Wae Rebo.
1.2. Wisata alam Desa Wae Rebo
Desa Wae Rebo sering dijuluki sebagai negeri di atas awan. Desa ini berada di pegunungan dengan ketinggial 1200 m di atas permukaan laut. Selain berada di ketinggian, Wae Rebo diapiti oleh pengunungan yang hijau sepanjang tahun. Dan, Wae Rebo seakan kampung yang berdiri sendiri, karena cukup jauh dari kampung-kampung lain.
Di samping wisata budaya, Wae Rebo menawarkan keindahan alam. Pemandangan pegununganan juga memberikan nuasa dan kesegaran tersendiri. Wae Rebo diapiti oleh pegunungan dengan hutan yang hijauu sepanjang tahun. Ada berbagai jenis pohon yang tumbuh di pegunungan sekitarnya. Setidaknya, ada 42 jenis pohon dalam ekosistem hutan Wae Rebo.
Setelah bermalam di Wae Rebo, wisatawan juga dapat menikmati kemolekan Pulau Kecil yang ada di sebelah selatan, yaitu Pulau Mules. Selain mendaki gunung menuju wae Rebo, tawaran lain adalah menikmati pantai Pulau Mules.
1.3 Sejarah Wae Rebo
Leluhur Wae Rebo diyakini sebagai keturunan minangkabau. Dalam tutur lisaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, diceritakan bahwa Empo Maro dan Bimbang berlayar dari Minangkabau. Hingga kini, penulis sejarah Manggarai mencatat cerita lisan dari tetua adat bahwa nenek moyang orang Manggarai berasal dari beberapa tempat dan salah satunya adalah Minangkabau.
Dunia luar mengenal Wae Rebo terutama bermula dari informasi dan foto-foto dari seorang peneliti bidang antropogi. Peneliti tersebut berasal dari Inggris dan kini menjadi professor di LSE, Catherine Allerton. Sekitar tahun 1997, foto-foto tentang Wae Rebo dan Rumah Adat yang berbentuk kerucut tersebar dan dikenal luas melalui kartu pos.
Yori Antar adalah arsitektur yang berjasa untuk Konservasi Wae Rebo. Setelah melakukan perjalanan arsitektural ke Pulau Flores pada tahun 2008, Yori Antar bersama warga untuk memugar dan membangun kembali ketujuah rumah adat Wae Rebo. Upaya konservasi ini mendapat apresiasi dari dunia internasional, misalnya pada tahun 2013, Wae Rebo mendapat penghargaan dari Aga Khan dalam industri arsitektur.
2. Tempat wisata Manggarai selain Wae Rebo
2.1. Liang Bua, rumah Hobbit Flores
Manusia purba yang ada di gua ini memang mencuri perhatian dunia arkeologi karena dari berat dan tingginya mirip Hobbit. Fosil ini ditemukan pada 2003 yang membuat nama Gua Liang Bua menjadi dikenal seluruh dunia. Gua ini menjadi tempat tinggal bagi manusia Homo Floresiensis atau Hobbit dari Flores.[iii]
2.1.1 Arti harafiah Liang Bua
Gua liang Bua merupakan salah satu situs arkeologi penting dunia. Gua Liang Bua berlokasi di Dusun Golo Manuk, Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai, Flores. Kordinat 080 31’50,4’ LS dan 1200 26’ 36,9’ BT dengan ketinggian +500 m di atas permukaan laut.
Letak Liang Buta tidak terlalu jauh dari Kota wisata religi Ruteng. Jaraknyanya kurang lebih 13 kilometer dari Ruteng. Dan, untuk mencapai kesasa pengungjung dapat menggunakan angkutan umum. Situs Liang Bua merupakan situs peninggalan dari zaman prasjerah. Situs ini banyak dikunjuni dan dijadikan tempat penelitian, baik oleh peneliti dalam negeri maupun luar negeri.
Liang bua berasal dari bahasa manggarai-Flores. Secara harifiah liang berarti gua dan bua berarti dingin. Karena itu, liang bua diartikan sebagai gua dingin atau gua sejuk. Gua ini adalah gua karst yang terbentuk karena proses cuaca dalam jangka waktu yang lama.
2.1.2 Sejarah tentang Liang Bua
Dilansir dari cagarbudaya.kemendikbud.go.id, situs Liang Bua pertama kali ditemukan oleh seorang misionaris Belana, Pastor Theodore Verhoven pada tahun 1957.[iv] Penelitian pertama oleh Verhoven yang melakukan penggalian secara amatir dilakukan pada tahun 1965.
Kemudian, penelitian selanjutnya dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahunn 1973 dan tahun 1979. Berikutnya, pada tahun 2001-2004 penelitian di Liang Bua dilakukan oleh R.P Soejono dan bekerja sama dengan peneliti Asing Mike Morwood dari Australia.
2.1.3 Keunikan Liang Bua
Dari uji laboratorium sampel sediman di pojok selatan Gua Liang Bua terbentuk dari 190.000 tahun silam. Gua ini terbentuk dari bebatuan yang terbawa arus sungai hingga terbentuk gundukan bukit. Dari dalam gua anda juga dapat melihat stalaktit yang menawan menjuntai di langit-langit gua. Pemandangan ini dapat dinikmati dengan mudah karena gua ini dijadikan tempat wisata dan tempat penelitian kelas internasional.
Di gua inilah ditemukan fosil Homo Floresiensis. Yang membuatnya unik adalah, banyak penelitian menunjukkan manusia purba yang ditemukan berukuran kecil atau kerdil. Manusia purba yang ada di gua ini memang mencuri perhatian dunia arkeologi karena dari berat dan tingginya mirip Hobbit.
Fosil ini ditemukan pada 2003 yang membuat nama Gua Liang Bua menjadi dikenal seluruh dunia. Gua ini menjadi tempat tinggal bagi manusia Homo Floresiensis atau Hobbit dari Flores, ini terlihat dengan ditemukan potongan rangka, rahang bawah, perkakas bekas Homo Erectus, serta sisa-sisa tulang Stegodon (gajah purba) kerdil, biawak raksasa, serta tikus besar. Hampir semua lapisan yang mengandung temuan tersebut berusia antara 95.000-12.000 tahun silam.
2.2 Sawah laba-laba
Jak Lingko telah dihadirkan sebagai system transportasi yang terintegarai di Jakarta.[v] Nama Jak Lingko terinspirasi dari kerarifan lokal lingko lodok dalam budaya Manggarai.
2.2.1 Inspirasi Jak Lingko
Jak Lingko merupakan integrasi layanan trasportasi publik di Jakarta. Dilansir situs Pemeritah DKI, jakarta.go.id, Jak Lingko diambil dari dua makna kata, yaitu Jak yang berarti Jakarta dan Lingko yang bermakna jejaring atau integrasi. Nama ini dipilih terinspirasi dari system pembagian kebun komunal yang kemudian dijadikan areal persawahan di Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jak Lingko adalah system transportasi terintegrasi baik rute, manajemen, maupun pembayarannya. Integrasi ini melibatkan bus besar, medium, dan kecil Transjakarta, serta transportasi berbasis rel yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Seperti MRT dan LRT
Jak Lingko dicanangkan pada 29 September tahun 2021 oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Menteri BUMN RI Erick Thohir dan Menteri Perhubungan RI Budi Karya Sumadi. PT JakLingko Indonesia didirikan berdasarkan Pergub DKI Jakarta No 63 Tahun 2020 tentang Penugasan BUMD untuk menyelenggarakan Sistem Integrasi Pembayaran Antar Moda Transportasi.
2.2.2 Mengenal lingko lodok
Jak Lingko terinspirasi dari pembagian kebun komunal yang membentuk jaring laba-laba. Pembagian itu itu merupakan kearifan lokal orang Manggarai yang bisa disebut lingko lodok. Bentuk pembagian seperti jarang laba-laba tersebut dapat ditemui hampir semua kebun komunal orang Manggarai.[vi] Hanya yang dikenal luas adalah hamparan sawah di seputaran Cancar, yang terdiri dari 48 lingko dengan luas masing-masing lingko kira-kira 4 ha.
Pola dari pembagian kebun komunal Manggarai adalah berupa garis panjang dari titik tengah yang disebut lodok hingga bidang terluarnya, yang disebut cicing. Pembagian berbentuk lodok tersebut bukan hanya untuk pembagian sawah. Jauh sebelum orang Manggarai mengenal persawahan, pembagian ini sudah ada di Manggarai. Orang Manggarai mengenal persawahan relatif baru, yaitu sejak Raja Aleksander Baruk.
Melalui system lodok, pembagian tanah ulayat dibagai secara adil dan merata. Pembagian ini berdasarkan kesepakatan bersama dimulai dengan lonto leok (rapat warga kampung) di rumah adat. Pembagian lingko berbentuk lodok tersebut juga mengikuti bentuk rumah adat (mbaru gendang) yang berbentuk kerucut. Bagi orang manggarai rumah adat dan tanah ulayat adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Pembagian lingko lodok ini juga menggambarkan cara pandang orang Manggarai dalam relasi dengan Wujud Tertinggi, alam dan sesama manusia. Warisan pembagian ini masih dipertahankan hingga kini. Karena itu, pembagian berbentuk lodok ini menjadi ikon kearifan leluhur dalam pembagian tanah ulayat di Manggarai.
2.2.3 Tempat wisata sawah laba-laba, spider rice field
Salah satu tawaran wisata di Labuan Bajo adalah kearifan lokal lingko lodok. Pembagian dan bentuk tersebut telah masuk kategori persawahan unik di Asia Pasifik. Warisan pembagian tanah ulayat juga telah menjadi tujuan wisata unik.
Spot wisata lingko lodok yang kerap dikunjugi adalah areal persawahan di seputaran Cancar. Sudah banyak wisatawan yang menyambangi spot wisata lingko lodok Cancar, baik wisatawan lokal maupun manca negara. Letaknya tidak jauh dari jalan Trans Flores dan relatif dekat dengan Kota wisata religi, Ruteng. Sawah lodok cancar menjadi destinasi yang cukup diminati yang ada di Manggarai.
Dari Lodok Cancar, perjalanan wisata bisa dilanjutkan ke Ruteng yang menawarkan nuansa religi atau berlanjut ke Wae Rebo untuk mengenal lebih jauh dan ada bersama masyaraka setempat yang mempertahankan warisan budayanya ditengah gempuran moderniasi.
2.3. Kota Ruteng
Labuan Bajo menawarkan berbagai destinasi wisata alam. Namun, jika ingin mengenal bagaimana orang Manggarai hidup dalam tradisi iman dan budaya yang kuat, sebaiknya perjalanan liburan tidak hanya terhenti di Labuan Bajo saja. Maka, rencanakan juga sebagian waktu liburan untuk berwisata di Kota dingin Ruteng.[vii]
2.3.1 Sekilas sejarah Kota Ruteng
Kota Ruteng berada di Flores Bagian Barat Pulau Flores. Secara astronomis, Ruteng berada di 8.5863000°S 120.3788°E. Berada di ketinggian di lereng pegunangan Manduaswu dan curah hujan yang tinggi menjadikan kota ini sebagai kota hijau sepangjang tahun.
Ruteng merupakan ibu kota Kabupaten Manggari, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebelum Labuan Bajo dan Borong, Ruteng menjadi satu-satunya pusat pemerintahan di manggarai raya. Kemudian dimekarkan dengan dua kabupaten pemekaran yaitu manggarai barat dan manggarai Timur.
Kota Ruteng ditata cukup rapi yang merupakan warisan Eropa. Kota ruteng dibangun pada tahun 1903 dengan jalan yang ditata sedemikian rapi dibawah kendali Controleur Belanda, Willem Colhas. Nuasa Eropa sangat terasa terutama dari penataan kota dan beberapa bangunan tua yang masih tersisa. Misalnya, Gereja Katedral lama yang berada di tengah-tengah kota. Gereja ini dibangun oleh misionaris eropa dan hingga kini keaslian arsitektur eropa tetap dipertahankan.
2.3.2 Ruteng kota dingin di Flores
Ruteng adalah salah satu kota dingin yang ada di Flores. Kota lain yang juga disebut sebagai kota dingin adalah kota Bajawa, yaitu ibu kota Kabupaten Ngada. Ruteng berada di atas ketinggian 1.200 m diatas permukaan laut. Pada musim kemarayu suhu ruteng bisa berada di bawah 10 c. Sekalipun cuaca cukup terik, udara tetap terasa sejuk.
Meskipun Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah dengan intensitas hujang yang sangat kecil, Ruteng dan Manggarai memiliki curah hujan tinggi. Intesitas hujan di kota Ruteng adalah 3,340 mm/tahun. Suhunya berkisar 13-25 dan tingkat kelembabb 90 %Karen itu, kota Ruteng juga sering dijuluki dengan kota hujan di Flores.
Ketika musim kemarau akan menyaksikan langit biru dan hangat mentari yang magis. Kota ruteng menjadi kota yang sejuk dan Kesejukan kota ruteng menjadi daya tarik untuk wisatawan.
2.3.3 Ruteng pusat kekatolikan Manggarai
Mayoritas penduduk kota Ruteng beragama Katolik. Gereja Katolik sudah berusia lebih dari satu abad dan Ruteng adalah pusat karya misi dan perkembangan Gereja Katolik di Manggarai.
Keharidan misionaris Eropa sangat berjasa dalam memperhatikan dan memajukan pendidikan di Manggarai mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Selain pendirikan formal, Gereja Katolik juga berjasa dalam menginisiasi pendidikan formal.
Hingga kini, Keuskupan Ruteng terus melanjutkan karya pendidikan. Ada banya sekolah katolik yang bernaung dibawah yayasan keuskupan. Dalam menjawabi kebutuhan zaman, Gereja Katolik telah memiliki Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng yang merupakan pengembangan dari STKIP St. Paulus Ruteng. Selain itu, masih ada perguruan tinggi lain, yaitu STIPAS ST. Sirilus Ruteng.
3. Mengenal budaya Wae Rebo, budaya Manggarai
Kebudayaan adalah cara konkret memanusia di dalam suatu bangsa, kelompok atau negara tertentu. Demikian halnya dalam kebudayaan Manggarai juga memiliki cara konkret memanusia dalam seluruh dimensi keberadaannya. Masyarakat Wae Rebo adalah orang Manggarai yang menghidupi budaya Manggarai. Beberapa hal berikut sedikit menggambarkan budaya yang dihidupi masyarakat Wae Rebo.
3.1 Simbol-simbol dalam budaya Wae Rebo, Manggarai
Van Bekkum tampaknya memahami jati diri budaya Manggarai dan hal itu dapat disimak dalam beberapa simbol budaya yang diangkat dalam beberapa surat puasanya. Ada pun simbol-simbol tersebut adalah sebagai berikut:
3.1.1. Gendang
Ketika Vikariat Ruteng dinaikkan statusnya menjadi Keuskupan Ruteng pada tanggal 3 Januari 1961, Van Bekkum memahami kedudukan Gereja Keuskupan Ruteng sebagai kuasa gendang.[viii] Dalam budaya Manggarai, gendang/béo/golo adalah komunitas dasar dan sangat penting bagi setiap orang Manggarai. Setiap gendang dikepalai oleh seorang tua gendang/tua golo yang mengatur keharmonisan hidup berkomunitas dan mengorganisir setiap pesta adat. Dalam relasi antara gendang, masing-masing gendang merupakan komunitas yang otonom.
Masing-masing gendang memiliki beberapa aspek, yaitu mbaru gendang (rumah adat), compang (mezbah), waé téku (penimbaan air), uma duat (tanah ulayat) dan boa (pekuburan). Keberadaan mbaru gendang menunjukkan otoritas suatu komunitas gendang/béo. Semua keputusan penting dibuat dalam mbaru gendang dan upacara adat umum terjadi dalam mbaru gendang. Sementara itu, berhadapan dengan mbaru gendang, terdapat compang. Elemen lain dari satu gendang adalah waé téku. Waé téku tidak hanya tempat menimba air tetapi juga memiliki nilai spiritual dalam relasi dengan dunia. Demikian halnya dengan lingko juga merupakan bagian integral yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan satu gendang. Yang terakhir adalah boa tempat orang yang telah meninggal berdiam.[ix]
3.1.2. Manuk (ayam)
Manuk memiliki peran penting dalam budaya Manggarai. Jilis Verheijen telah mengumpulkan beberapa versi cerita tentang ayam. Dari beberapa cerita itu, ada seekor ayam jantan yang merupakan anak dari Sang Pemilik Semesta melalui sinar mata hari. Ayam itu tinggal di langit dan ia akan berkokok membangunkan ayam-ayam di bumi dan ayam-ayam di bumi akan membangunkan manusia dari tidurnya. Singkatnya, ayam jantan merupakan ciptaan yang dekat dan pantas dengan Sang Pencipta dan ayam jantan pun menjadi jamuan yang layak untuk Pencipta.[x] Bisa jadi bahwa, ini adalah alasan mengapa ayam menjadi kurban yang pantas dalam setiap upacara adat.
3.1.3 Kaba (kerbau)
Bagi orang Manggarai, kerbau tidak hanya memiliki nilai ekonomis tetapi juga menempati posisi penting dalam upacara adat.[xi] Kerbau hanya dikurbankan dalam perayaan yang sangat besar yang melibatkan banyak pihak. Selain itu, perayaan dengan menggunakan kerbau sebagai hewan kurban biasanya berlangsung selama tujuh hingga sepuluh hari dan merupakan perayaan meriah yang disertai dengan nyanyian dan tarian adat, seperti sanda, toto loké, mbata, saé, dan kélong.
3.2. Nilai budaya Manggarai
3.2.1 Penduduk Wae Rebo mengakui adanya daya yang melampui manusia
Orang Manggarai mengankui adanya daya yang melampaui manusia yaitu Wujud Tertinggi dan juga roh-roh lain yang turut mempengaruhi hidup manusia. Dengan berpijak pada berbagai literatur tentang Manggarai, Alex Lanur menyimpulkan juga bahwa masyarakat Manggarai mengakui adanya Wujud Tertinggi dan menghormatinya. Dalam berbagai kesempatan masyarakat Manggarai mengadakan hubungan dengan Wujud Tertinggi melalui upacara dan doa-doa.[xii]
Tentang dimensi religius ini, secara singkat Piet Heerkens sebagaimana dikutip oleh Jilis A. J. Verheijen, menyatakan: “Mereka mudah secara wajar dan dengan amat mudah mengucapkan nama Allah di dalam percakapan mereka daripada kami dari dunia bagian utara.”[xiii] Dalam Surat Puasa 1961, Van Bekkum mengakui dimensi religius ini dengan menulis: “Sejak nenek moyang kita diciptakan maka di Manggarai iman akan Allah selalu hidup. Kepercayaan kepada Tuhan tak putus sejak dari nenek moyang kita. Iman kepada Allah, Tuhan dan Pencipta mereka teruskan kepada turun temurun.”[xiv]
3.2.2 Manusia sebagai makhluk sosial
Masing-masing pribadi adalah unik. Dalam budaya Manggarai, masing-masing individu akan menjadi kuat dalam kesatuan dengan yang lain. Van Bekkum menulis: “orang (Manggarai) djarang berinisiatif sendirian dan sesuatu jang baru selalu dijalankan bersama-sama atau beramai-ramai.[xv]
Banyak petuah leluhur yang mengajarkan pentingnya kebersamaan sebagai makhluk social yang mesti dirawat dalam kesatuan seperti, nai ca anggit, tuka ca leleng atau muku ca puu, neka woleng curup.
3.2.3 Masyarakat Wae Rebo hidup dalam jaringan relasi dengan alam
Mengutip Ino Sutam, roh kebudayaan Manggarai terikat kuat dengan alam.[xvi] Dari ketiga simbol yang diangkat oleh Van Bekkum, tampak bahwa jati diri budaya Manggarai bertalian erat dengan alam. Kuasa gendang tidak hanya terpusat dan terbatas pada pribadi tetapi juga mencakupi ruang yang memungkinkan manusia bisa hidup. Manuk dan kaba adalah dua dari hewan kurban yang juga diambil dari alam. Dalam relasi dengan alam, manusia memiliki makna untuk mengatur dan menjaga keseimbangan dan memelihara keharmonisan hubungan manusia dengan Yang Maha Tinggi, alam dengan Yang Maha Tinggi dan keseimbangan hubungan antara bagian-bagian yang membentuk alam dan lingkungan secara keseluruhan.[xvii]
4. Isu seputar wisata budaya
4.1 Wisata dan budaya saling memperkaya
Interakasi antara budaya setempat dan industri pariwisata kiranya berujung pada interaksi yang saling memperkaya. Namun demikian, dalam praktiknya industri pariwisata yang diutamakan. Tidak heran, kalau jargon pengembangan pariwisata yang berkelanjutan ditafsir sebagai upaya untuk melindungi kepentingan industri pariwisata.
Penganut budaya dilibatkan dengan pertimbangan bahwa budaya lahir dan berkembang bersama dengan penganut budaya. Penganut budaya tentu memahami betul nilai-nilai dan wujud budayanya. Juga, mengenal mana yang masih bertahan, mana yang telah hilang dan mana yang sedang berubah. Karena itu, pengembangan pariwisata berkelanjutan mengandaikan keterlibatan penganur budaya setempat.
Interaksi antara budaya dengan pariwisata, di satu sisi kiranya memungkinkan penganut budaya semakin berakar kuat dalam warisan budayanya dan di sisi lain menginspirasi industi pariwisata untuk dapat meawarkan wisata unik dan kontekstual sesuai kearifan lokal budaya setempat.
4.2 Konflik budaya dan industri pariwisata
Revolusi industri hadir melayani manusia yang memungkinkan kebutuhan manusia terpenuhi secara efektif dan efisien. Akan tetapi, dalam lintasan peradaban, industri adalah sahabat dekat dan menjadi ‘milik’ segelintir orang yang berduit. Industri dikendalikan oleh kapitalisme, dan beririsan dengan materialisme dan individualisme. Dan, kehadiran industri menjadi petaka bagi alam dan sesama dimana yang lain diperhitungkan sejauh mengamankan aliran dan penumpulkan modal kepada segelintir orang.
Industri pariwisata juga bersinggungan dengan kapitalisme dan dikendalikan oleh jejaring korporasi global yang dikuasai segelintir orang. Keberpihakan industri pariwisata terhadap budaya belakangan ini pun dicurigai semata-mata demi kelangsungan pariwisata itu sendiri. Kepentingan pariwisata diutamakan dan budaya diperhatikan sejauh untuk mengamankan keberlanjutan pariwisata. Dalam hal ini, apa yang menjadi kebutuhan industri pariwisata adalah titik awal dan sekaligus orientasi pengembangan pariwisata. Sementara itu, sumber daya lokal disesuaikan dan dituntut untuk mengejar ‘’ketertinggalan’’ demi mengimbangi cara kerja industri pariwisata.
Konflik pariwisata dan budaya bisa terjadi karena, antara lain, inisiasi pariwisata tidak berasal dan tidak dimulai dari komunitas budaya setempat. Industri pariwisata adalah ‘pendatang’ yang dipaksakan untuk dihidupi oleh masyarakat lokal. Konflik juga terjadi karena nilai-nilai yang dihidupi industri pariwisata berseberangan dengan kearifan lokal, seperti mengedepankan harmoni dan keseimbangan. Bagi budaya lokal, harmoni itu mesti terjaga dalam relasi dengan Wujud Tertinggi, roh-roh leluhur dan alam, sesama dan alam lingkungan. Ada berbagai larangan dan upacara silih ketika perilaku masyarakat mencederai relasi yang harmonis tersebut.
Organisasi pariwisata dunia, UNWTO, menaruh harapan bahwa idustri pariwisata dapat berandil dalam merawat kerarifan lokal. Hal ini menuntut Industri pariwisata untuk mengenal betul budaya setempat dan penganut budaya diberi ruang untuk terlibat dalam industri pariwisata, tetapi tidak mencabut penganut budaya dari akar budayanya. Ketika industri pawisata mengakomodir nilai-nilai budaya lokal, maka semestinya ditempuh jalan untuk tidak saling merugikan.
4.3 Homogenisasi kultural dan pranata budaya
Dalam pengembangan pariwisata, negara telah mengatur bahwa pengembangan pariwisata harus menghormati budaya setempat. Undang-undang pariwisata menitikberatkan tanggung jawab pemerintah dan pihak industri pariwisata untuk menghormati budaya dalam pengembangan pariwisata. Negara tetap memberi ruang kepada pranata budaya untuk menentukan kelangsungan suatu budaya di tengah pengembangan pariwisata. Diandaikan bahwa dalam komunitas budaya masih memberi tempat bagi perangkat atau pranata budaya dalam menentukan keberlangsungan budaya.
Gejala homogenisasi kultural sedemikian tampak dalam pengembangan pariwisata. Untuk itu, budaya setempat perlu waspada terhadap gejala hilangnya keunikan yang dimilikinya. Penguatan jati diri budaya tidak sampai diabaikan di tengah berbagai tawaran menggiurkan dalam pengembangan pariwisata. Apalagi, budaya itu sendiri selalu berkembang dan berubah.
Dalam hal ini, keberadaan pranata budaya menjadi penting agar perubahan budaya yang terus berlangsung sepanjang waktu tidak sampai kehilangan jejak di tengah rimba pembauran nilai budaya. Karena itu, peran dan fungsi pranata budaya di tengah pengembangan pariwisata tetap mendapat ruang. Dengan demikian, pranata budaya dapat memberikan rambu-rambu bagaimana budaya berjumpa dengan budaya lain dalam pengembangan pariwisata.
4.4 Wisata Budaya Berbasis Beo
Beo merupakan komunitas dasar orang Manggarai yang terdiri dari jejaring utuh beberapa unsur, yaitu mbaru gendang, natas labar, compang, wae teku, uma duat, dan boa. Mbaru gendang tidak dapat berdiri sendiri. Demikian juga, unsur-unsur yang lain tidak berdiri sendiri. Maka, beo merupakan kesatuan utuh yang terdiri dari beberapa unsur tersebut. Berbagai upacara budaya dilaksanakan dan tak terpisahkan dari beo.
Warisan budaya hidup dan dipertahankan oleh dan dalam komunitas beo. Warisan budaya yang dipertahankan itu mengungkapkan nilai-nilai penting bagi warga beo, antara lain menyakini Wujud Tertinggi sebagai Ada yang melampui semesta dan roh-roh lain yang turut memengaruhi alam semesta, kebersamaan dalam hidup dengan yang lain, dan hidup dalam kerterjalinan relasi yang harmonis dengan alam.
Wisata budaya berbasis beo adalah model wisata budaya yang melihat budaya secara utuh dan menghindari kecenderungan untuk mempopulerkan sebagian kecil dari budaya, tetapi mengabaikan aspek-aspek luhur lain dari budaya setempat. Selain itu, pariwisata tidak sebatas memamerkan hal-hal artifisial dan mengabaikan nilai-nilai yang dihidupi penganut budaya.
Wisata budaya berbasis beo adalah langkah untuk menghindari kecenderungan mencabut warisan budaya dari komunitas penganut aslinya dan sebagai benteng untuk menjaga keunikan identitas dan jati diri budaya setempat. Pengembangan wisata buda berbasis beo adalah bagaimana mengelola dan mengemas nilai-nilai budaya menjadi inspirasi bagi wisatawan oleh penganut budaya setempat di dalam komunitas aslinya. Selain untuk memperkaya paket wisata budaya, wisata budaya berbasis beo juga menjadi jalan menjaga dan melihat budaya secara holistik.
4.5. Festival Budaya di Beo
Di tengah hiruk pikuk wisata, pengembangan wisata tematik adalah jalan untuk menjaga dan merawat budaya. Keunikan budaya Manggarai (dan juga budaya lain) dapat dipromosikan di tengah tantangan homogenisasi kultural. Mengangkat budaya sebagai paket wisata dapat menjadi jalan untuk menggali dan memperbaharui nilai-nilai budaya.
Budaya Manggarai tentu saja dapat dikembangkan untuk wisata budaya. Budaya Manggarai dapat menjadi salah satu pilihan bagi wisatawan untuk menimba horisan baru dari budaya. Salah satu model wisata budaya yang dapat dikembangkan adalah festival budaya beo.
Festival budaya beo adalah merayakan budaya sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan dengan beo. Misalnya, untuk kemasan festival beo, rangkain acara penti dimeriahkan dengan tarian caci. Pertunjukan caci dilaksanakan pada siang hari dan malam hari diisi dengan pertunjukan seni budaya, sanda dan mbata. Dalam festival budaya beo ini, keunggulan dan kerajinan warga beo dapat ditampilkan seperti makanan tradisional dihidangkan selama festival berlangsung.
Festival budaya beo adalah peluang untuk revitalisasi budaya manggarai oleh pelaku budaya sendiri. Dengan fetival budaya beo, budaya tetap dihidupi oleh masyarakat setempat dan serentak masyarakat terlibat dalam geliat pariwisata. Di sini, revitalisasi budaya dimulai dan tertuju pada beo.
Melalui festival budaya beo, keunikan budaya tetap dipertahankan sembari ditawarkan sebagai alternatif wisata tematik yang berbasis kearifan lokal. Juga, geliat wisata tidak hanya tentang keindahan alam semata tetapi juga pengalaman hidup bersama dalam kearifan budaya di komunitas asali budaya Manggarai,
Referensi
[i] https://id.wikipedia.org/wiki/Wae_Rebo
[ii] https://www.kemenparekraf.go.id/ragam-pariwisata/Desa-Wisata-Nglanggeran-Jadi-Wakil-Indonesia-pada-Ajang-Best-Tourism-Village-UNWTO
[iii] https://id.wikipedia.org/wiki/Liang_Bua
[iv] http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2018071000409/situs-liang-bua
[v] https://www.jaklingkoindonesia.co.id/id
[vi] https://indonesia.go.id/ragam/pariwisata/pariwisata/sawah-berbentuk-jaring-laba-laba-di-flores
[vii] https://id.wikipedia.org/wiki/Ruteng,_Manggarai
[viii]Wilhelmus van Bekkum, “Surat Puasa”, (Ms.), 1961.
[ix]Fransiska Widyawati, “The Development Of Catholicism In Flores, Eastern Indonesia: Manggarai Identity, Religion, And Politics”. Disertation, Gadjah Mada University, Yogyakarta , 2013, hlm. 40-50.
[x]Jilis A. J. Verheijen, Manggarai Dan Wujud Tertinggi, penerj. Alex Beding dan Marcel Beding(Jakarta: LIPI-RUL, 1991), hlm. 185-188.
[xi]Jilis A. J. Verheijen, Manggarai Texts I (Ruteng: SVD Regio Ruteng, 1977), hlm. 76-81.
[xii]Alex Lanur, “Pandangan Hidup Orang Manggarai” dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (Eds.), Op.cit., p. 114.
[xiii]Jilis A. J. Verheijen, Op.cit., p. 22.
[xiv]Wilhelmus van Bekkum, “Surat Puasa”, (Ms.), 1961.
[xv]W. v. Bekkum, “Warloka-Todo-Pongkor En Brok Geschiedenis van Manggarai”. Cultureel Indie Achst Jaargang E Brill-Leiden Juli/Agustus, VI (Leiden, 1945), Mei/Juni, VIII (Leiden, 1946), Juli/Agustus IX (Leiden, 1946). .
[xvi]Ino Sutam, “Menjadi Gereja Katolik Yang Berakar Dalam Kebudayaan Manggarai” dalam Martin Chen dan Charles Suwendi Chen, Iman, Budaya dan Pergumulan Sosial. Jakarta: Obor, 2012, hlm. 177.
[xvii]John D. Mukese, “Makna Hidup Orang Manggarai” dalam Martin Chen dan Charles Suwendi (Eds.), Op.cit., p. 125.