Pariwisata dan Budaya, saling Memperkaya

Penulis: Timotius J

Tren pariwisata global dewasa ini adalah pariwisata tematik. Dalam hal ini, kearifan budaya menjadi tawaran sebagai paket wisata. Apalagi, Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) memberi perhatian terhadap kearifan lokal dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Pengembangan pariwisata berbasis kearifan budaya lokal menjadi salah satu indikatornya.

Dampak ganda pariwisata

Banyak kajian mengetengahkan bahwa pariwisata membawa dampak ganda, baik positif maupun negatif, bagi budaya setempat. Berhadapan dengan dampak tersebut, sikap masyarakat terhadap pariwisata bisa berubah, dari menerima kemudian menolak sebagaimana telah dikemukan Doxey (1975) dalam teori irritation index. Ada empat fase perubahan sikap masyarakat terhadap pengembangan pariwisata, yaitu euphoria, apathy, annoyance, antagonism.

Jepang, ramai dikunjungi karena budayanya. Atau, Bali juga dikenal dunia bukan semata karena alam pantai tetapi bagaimana orang Bali hidup dalam kearifan budayanya. Namun, studi belakangan ini menunjukkan, baik di Jepang maupun Bali, ternyata ada juga penolakan dari masyarakat terhadap pengembangan pariwisata, terutama pariwisata masal. Wisata massal membawa dampak negatif, mengganggu dan merusak budaya setempat.

Tak dipungkiri bahwa kehadiran pariwisata juga telah menciptakan perubahan bagi budaya setempat. Dalam hal ini, faktor eksternal turut menciptakan perubahan dalam budaya. Malah, kebudayaan berkembang justru karena interaksi dengan budaya luar. Karena itu, budaya bukanlah sesuatu yang statis. Symbol-simbol maupun konsepsi yang terkandung dalam kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis, dan sementara (Alam, 1998).

Dalam konteks globaliasi, perubahan budaya tidak bisa dipisahkan dari keterbukaan masyarakat itu sendiri terhadap dunia luar. Misalnya, revitalisasi budaya Manggarai juga karena perjumpaan dengan dunia luar. Bentuk revitalisasi itu antara lain, membangun kembali rumah adat yang kemudian menjadi destinasi wisata.

Interakasi antara budaya setempat dan industri pariwisata kiranya berujung pada interaksi yang saling memperkaya. Namun demikian, dalam praktiknya industri pariwisata yang diutamakan. Tidak heran, kalau jargon pengembangan pariwisata yang berkelanjutan ditafsir sebagai upaya untuk melindungi kepentingan industri pariwisata.

Saling memperkaya

Penolakan masyarakat dilihat sebagai alarm untuk kelangsungan industri pariwisata. Ketika kelansungan budaya terganggu, keberlansungan industri pariwisata juga terancam. Di sini, perhatian terhadap budaya bukan terutama pada kelangsungan budaya itu sendiri tetapi pada kelangsungan industri pariwisata semata. Singkatnya, ketika budaya mengalami gangguan atau hilang, maka industri pariwisata akan terganggun atau kehilangan paket wisata.

Meskipun demikian, sejatinya pengembangan pariwisata berkeberlanjutan merupakan opsi dan posisi mutlak untuk berpihak pada budaya. Di sini, perhatian utama adalah keberadaan budaya dimana budaya bukan terutama sebagai objek pariwisata. Wisata budaya hanyalah bonus dari keberadaan budaya.

Indikator perhatian terhadap kearifan budaya lokal semestinya tidak semata ditafsir dari sisi industri pariwisata, tetapi dari keberlansungan budaya setempat. Industri pariwisata yang menyesuasikan diri dengan budaya setempat. Jika demikian, kehadiran industri pariwisata tidak mengabaikan konteks budaya, tetapi menyediakan ruang yang memungkinkan budaya dan pariwisata berinteraksi secara sehat.

Kehadiran pariwisata tidak untuk mengeksploitasi budaya setempat. Tetapi, pariwisata hadir untuk berjalan bersama budaya agar budaya bisa mencapai titik keseimbangan baru. Dengan demiikian, pariwisata tidak menjadikan kehadirannya sebagai yang superior, terasing dan tertutup dari budaya setempat.

Kontribusi industri pariwisata dan jargon pariwisata yang berkelanjuntan dengan memperhatikan kearifan lokal diuji ketika hadir di tengah budaya yang sedang berubah. Belum lagi, penganut budaya sendiri pelan-pelan meninggalkan dan tidak mengenal budayanya lagi. Penganut budaya tidak lagi mempertahankan cara hidup seturut warisan budayanya. Bersamaan dengan itu, pranata budaya asli makin longgar dan berbagai fungsi pranata budaya diambil alih oleh institusi lain.

Dalam hal ini, industri pariwisata tidak sebatas menghormati dan tidak mengganggu kearifan lokal setempat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pariwisata. Industri pariwisata juga mengambil langkah untuk memastikan, budaya setempat terus bertahan. Jalan yang dapat ditempuh antara lain, nilai-nilai budaya menjadi dasar untuk pengembangan pariwisata dengan melibatkan penganut budaya setempat.

Penganut budaya dilibatkan dengan pertimbangan bahwa budaya lahir dan berkembang bersama dengan penganut budaya. Penganut budaya tentu memahami betul nilai-nilai dan wujud budayanya. Juga, mengenal mana yang masih bertahan, mana yang telah hilang dan mana yang sedang berubah.  Karena itu, pengembangan pariwisata berkelanjutan mengandaikan keterlibatan penganur budaya setempat.

Budaya adalah kristalisasi dari cara pandang dan cara hidup manusia dalam ruang hidup tertentu. Setiap budaya memiliki keunikan tersendiri dan setiap budaya adalah baik dan luhur bagi penganutnya. Keunikan yang dimiliki oleh budaya dirawat dan dipertahankan, tetapi bukan sekedar pajangan atau hanya sebagai paket wisata. Tetapi, lebih jauh bagaimana mengembangkan pariwisata  yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya setempat.

Maka, interaksi antara budaya dengan pariwisata, di satu sisi kiranya memungkinkan penganut budaya semakin berakar kuat dalam warisan budayanya dan di sisi lain menginspirasi industi pariwisata untuk dapat meawarkan wisata unik dan kontekstual sesuai kearifan lokal budaya setempat.

Leave a Comment