Oleh: Timotius J
Konflik budaya dan pariwisata adalah hal yang menarik untuk didiskusikan. Ada yang melihat bahwa terjadi konflik yang tak terhindarkan dari perjumpaan antara keduanya. Meski demikian, tidak sedikit juga yang menyatakan bahwa budaya dan pariwisata dapat berjalan beriringan. Keduanya dapat berjalan beriringan ketika keduanya berada dalam posisi yang setara sehingga dapat saling memperkaya.
Ilustrasi konflik budaya dan pariwisata
Ahmad bersama sebagian besar warga komunitasnya adalah penganut budaya yang taat. Berbagai acara budaya dan kearifan lokal tetap dijalankan dan dirawat dengan baik. Belakangan ini, kesetiaan merawat budaya dan hidup dalam kearifan leluhur tersebut dilihat sebagai peluang untuk wisata budaya unik. Demikianlah, industri pariwisata hadir dan menjanjikan berbagai peluang baru bagi Ahmad dan orang-orang sebudayanya.
Sedari awal, pihak industri pariwisata merayu dan membangun berbagai fasilitas dengan iming-iming promosi budaya unik kepada dunia luar. Industri pariwisata juga menjanjikan ruang kepada penganut budaya untuk terlibat. Dan, Ahmad adalah salah satu warga budaya yang beruntung. Ahmad bekerja sebagai orang upahan dalam industri pariwisata yang baru hadir di tengah budayanya.
Belum genap satu tahun bekerja, komunitas budaya Ahmad mesti menjalankan perayaan budaya yang lazim diselenggarakan setiap tahun dan mesti dihadiri oleh semua warga komunitas budaya. Tanpa ragu, Ahmad mendatangi manajernya meminta izin agar bisa menghadiri perayaan tersebut. Namun, permintaan Ahmad bukanlah sesuatu yang lazim. Apalagi, acara budaya tersebut diselenggarakan pada masa sibuk kunjungan wisatawan.
Dalam situasi seperti itu, Ahmad dipaksa memilih untuk tetap bekerja atau menghadiri acara budaya. Jika memilih menghadiri perayaan budaya, Ahmad kehilangan pekerjaan. Lalu, kalau memilih untuk tetap masuk kerja, Ahmad merasa bersalah dan teralienasi dari komunitas budayanya.
Industri pariwisata
Revolusi industri hadir melayani manusia yang memungkinkan kebutuhan manusia terpenuhi secara efektif dan efisien. Akan tetapi, dalam lintasan peradaban, industri adalah sahabat dekat dan menjadi ‘milik’ segelintir orang yang berduit. Industri dikendalikan oleh kapitalisme, dan beririsan dengan materialisme serta individualisme. Dan, kehadiran industri menjadi petaka bagi alam dan sesama dimana yang lain diperhitungkan sejauh mengamankan aliran dan penumpukan modal kepada segelintir orang.
Industri pariwisata juga bersinggungan dengan kapitalisme dan apalagi dikendalikan oleh jejaring korporasi global yang dikuasai segelintir orang. Keberpihakan industri pariwisata terhadap budaya belakangan ini pun dicurigai semata-mata demi kelangsungan pariwisata itu sendiri. Kepentingan pariwisata diutamakan dan budaya diperhatikan sejauh untuk mengamankan keberlanjutan pariwisata itu sendiri. Dalam hal ini, apa yang menjadi kebutuhan industri pariwisata adalah titik awal dan sekaligus orientasi pengembangan pariwisata. Sementara itu, sumber daya lokal disesuaikan dan dituntut untuk mengejar ‘’ketertinggalan’’ demi mengimbangi cara kerja industri pariwisata.
Salah satu diskusi menarik dalam pengembangan pariwisata baru adalah budaya masyarakat tidak sejalan dengan kebutuhan industri pariwisata. Masyarakat lokal dituntut untuk bertransformasi dari cara hidupnya agar seirama dengan budaya industri pariwisata. Bahkan, ikatan sosial budaya yang kuat dilihat sebagai hambatan untuk bisa bekerja secara “profesional” dalam industri pariwisata. Dalam hal ini, budaya seakan mengekang penganutnya sehingga tidak bisa memenuhi tuntutan dunia industri pariwisata. Sementara itu, industri pariwisata menjadikan budaya sebagai produk wisata. Maka, yang terjadi adalah penganut budaya setempat ‘’didorong” merawat budayanya, tetapi industri pariwisata kemudian mengambil keuntungan dengan menjualnya sebagai produk wisata.
Konflik pariwisata dan budaya bisa terjadi karena, antara lain, inisiasi pariwisata tidak berasal dan tidak dimulai dari komunitas budaya setempat. Industri pariwisata adalah ‘pendatang’ yang dipaksakan untuk dihidupi oleh masyarakat lokal. Konflik juga terjadi karena nilai-nilai yang dihidupi industri pariwisata berseberangan dengan kearifan lokal, seperti mengedepankan harmoni dan keseimbangan. Bagi budaya lokal, harmoni itu mesti terjaga dalam relasi dengan Wujud Tertinggi, roh-roh leluhur dan alam, sesama dan alam lingkungan. Ada berbagai larangan dan upacara silih ketika perilaku masyarakat mencederai relasi yang harmonis tersebut.
Industri pariwisata sendiri kerapkali mengklaim bahwa kehadirannya telah berandil dalam akselerasi pembangunan terutama terkait pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Banyak kearifan lokal lama yang hilang direvitalisasi dan dihidupi kembali justru karena kehadiran industri pariwisata. Dengan berbagai dampak positif lain bagi komunitas setempat, para pihak tetap optimis bahwa kehadiran industri pariwisata adalah peluang meningkatkan kesejahteraan bagi penganut budaya.
Jalan tengah konflik budaya dan pariwisata
Industri pariwisata memang tidak menutup mata terhadap dampak negatif kehadirannya bagi penganut budaya setempat. Karena itu, sebagai jalan tengah, pengembangan pariwisata kini mengedepankan pariwisata berkeberlanjutan. Salah satu langkah yang ditempuh adalah pengembangan berbasis komunitas, yaitu mengembangkan pariwisata berpijak pada cara pandang masyarakat setempat.
Organisasi pariwisata dunia, UNWTO, menaruh harapan bahwa idustri pariwisata dapat berandil dalam merawat kearifan lokal. Hal ini menuntut industri pariwisata untuk mengenal betul budaya setempat dan penganut budaya diberi ruang untuk terlibat dalam industri pariwisata, tetapi tidak mencabut penganut budaya dari akar budayanya. Ketika industri pawisata mengakomodir nilai-nilai budaya lokal, maka semestinya jalan yang ditempuh adalah tidak saling merugikan.
Dari ilustrasi di awal, hal yang mesti dipertimbangkan adalah bagaimana masyarakat lokal diberi ruang untuk merawat budayanya serentak menjadi pelaku dari industri pariwisata. Pariwisata pada akhirnya akan mengalami penolakan jika semata-mata mengambail untung dari penganut budaya, tetapi lepas tangan dalam merawat budaya.