Penulis: Timotius J
Pemerintah tengah giat mengembangkan lima destinasi pariwisata superprioritas. Dalam pengembangan tersebut, pemerintah mengedepankan pariwisata berkelanjutan yang juga mencakupi pelestarian dan keutuhan ekologi dalam kawasan pariwisata.
Mengapa ekowisata?
Di tengah masifnya pengembangan pariwisata di lima destinasi pariwisata superprioritas, suara kritis masyarakat sipil terus bergema. Mereka membunyikan alarm bahwa pengembangan pariwisata yang tengah berjalan bisa membahayakan keutuhan ekologi. Sejauh ini, ada dua isu yang diangkat, yakni meningkatnya volume sampah dan eksploitasi alam lingkungan dalam kawasan pariwisata.
Baru-baru ini, LSM Sunspirit di Labuan Bajo melakukan audiensi dengan IUCN dan UNESCO. Sebelumnya, IUCN telah merilis naiknya status kepunahan satwa komodo. Sementara itu, UNESCO memberi peringatan bahwa pembangunan pariwisata yang tengah berjalan bisa membahayakan habitat alami satwa komodo.
Beriringan dengan tren pariwisata global yang meningkat beberapa tahun belakangan, studi tentang ekowisata di Indonesia juga cukup ramai. Ekowisata dipandang sebagai koreksi terhadap praktik pariwisata lama. Dalam studi-studi yang ada, konservasi menjadi kata kunci yang paling dominan. Berkaitan dengan konservasi, hal lain yang juga banyak dikaji adalah partisipasi masyarakat lokal dan kebijakan kepariwisataan.
Di satu sisi, pariwisata menjanjikan pertumbuhan ekonomi. Atau juga, pariwisata dapat merevitalisasi nilai-nilai dan tradisi yang dikemas menjadi produk pariwisata seperti aktraksi budaya.
Meski demikian, sejarah mencatat juga bahwa industri pariwisata membawa serta kerusakan ekosistem dan krisis ekologi. Demi mengejar kepentingan ekonomi, industri pariwisata mengesampingkan keutuhan ekologi. Selain itu, nilai-nilai komunitas asli terdepak oleh nilai-nilai baru yang dibawaserta oleh industri pariwisata. Pandangan dan perilaku masyarakat lokal ikut berubah seiring dengan berkembangnya pariwisata.
Masyarakat yang adaptif tentu menjadi hal baik untuk industri pariwisata. Celakanya, ketika industri pariwisata membawa nilai-nilai yang berseberangan dengan nilai ekologi. Kemudian, masyarakat lokal yang menerima pariwisata sebagai sesuatu yang relatif baru juga abai melihat dampak ekologi pengembangan pariwisata. Dengan demikian, masalah lingkungan terjadi karena di satu sisi industri pariwisata membawa nilai-nilai yang berseberangan dengan nilai ekologi dan di sisi lain lunturnya pandangan dan nilai-nilai ekologi masyarakat setempat.
Masalah lingkungan mucul ketika suatu lingkungan dijadikan sebagai destinasi pariwisata. Sementara itu, masyarakat setempat sudah dan akan hidup bersama lingkungan yang dijadikan sebagai destinasi pariwisata. Karena itu, pengembangan destinasi pariwisata perlu mempertimbangkan nilai-nilai ekologi yang dihidupi masyarakat setempat. Nilai-nilai ekologi yang tampak dalam hidup mereka mesti ditampilkan ke muka dan menjadi jiwa dari pengembangan pariwisata setempat.
Pengembangan ekowisata mengandaikan sinkronisasi kebijakan di antara pemangku kepentingan industri parwisata. Tampaknya, regulasi terkait pengembangan pariwisata masih sangat minim dan tidak secara eksplisit mengakomodir nilai-nilai ekologi masyarakat setempat.
Dari sembilan misi Presiden Republik Indonesia untuk periode II ini, setidaknya ada dua misi yang bisa menjadi pijakan dalam pengembangan pariwisata yang mengakomodir nilai ekologi lokal, yaitu mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan dan kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Mengikuti visi-misi Presiden Republik Indonesia, visi Kemenparekraf tahun 2024 antara lain adalah “Pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia yang maju, … mengedepankan kearifan lokal…”
Pengembangan ekowisata
Sayangnya, Perpres tentang Badan Otorita Pengelola pariwisata superprioritas tidak secara eksplisit mengakomodir nilai ekologi masyarakat setempat dalam pengembangan pariwisata superprioritas. Hal ini, misalnya, bisa dibandingkan dengan Perpres No. 49 Tahun 2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba. Demikian, juga Perpres No. 32 Tahun 2018 Tentang badang Otorita Pengelola Pariwisata Labuan Bajo Flores.
Regulasi yang secara eksplisit mengakomodir kearifan lokal adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009. Karena itu, untuk menjamin pengembangan pariwata yang berpihak pada kearifan lokal, maka amanat undang-undang tersebut tidak boleh diabaikan.
Penyusunan dan substansi regulasi dan kebijakan untuk pengembangan pariwisata yang berkelanjutan perlu mempertimbangkan dan mengakomodir nilai-nilai ekologi yang dihidupi oleh masyarakat setempat. Nilai-nilai ekologi masyarakat setempat diakomodir dan hal itu bisa menjadi pembeda pengembangan destinasi pariwisata. Juga, keunikan dan kekhasan ekologi lokal menjadi daya tarik dan bisa jadi menginginspirasi wisatawan dalam gerakan mencitai lingkungan.
Adalah menjadi tanggung jawab pelaku pariwisata untuk melaksanakan dengan patuh kebijakan pengembangan ekowisata dan juga menerjemahkan nilai-nilai masyarakat setempat yang mungkin belum terakomodir dalam berbagai kebijakan yang ada. Nilai-nilai yang dihidupi masyarakat setempat menjadi banteng terhadap berbagai kecenderungan pariwisata yang merusak keutuhan lingkungan.
Dalam pengembangan ekowisata, prinsip keberlanjutan menjadi hal utama. Keberlanjutan hanya mungkin jika pengembangan pariwisata tidak mengesampingkan daya dukung dan keutuhan lingkungan. Komitmen itu, paling tidak terbaca dalam rumusan kebijakan oleh pemerintah dan pelaksanaan oleh industri pariwisata.
Kebijakan dan praktik ekowisata menjadi titik temu antara nilai ekologi dari masyarakat setempat dan industri pariwisata. Nilai-nilai ekologi yang sudah lama dihidupi masyarakat setempat menjadi benteng sekaligus menjadi tawaran yang khas dan unik untuk industri pariwisata. Dan, industri pariwisata tentu akan semakin diperkaya oleh nilai-nilai lokal untuk ditawakan kepada wisatawan sebagai bentuk alternatif konsevasi lingkungan.