Penulis: Timotius J
Agrowisata rempah cengkeh dapat memperkaya daya tarik wisata Labuan Bajo. Apalagi melihat kecenderungan wisata global dewasa ini yang beralih dari wisata massal ke wisata tematik, seperti agrowisata. Labuan Bajo yang sudah ditetapkan sebagai destinasi superpremium juga memiliki potensi untuk mengembangkan agrowisata selain wisata alam yang sudah dikenal luas selama ini.
Revitalisasi kejayaan cengkeh
Pengembangan agrowisata cengkeh juga sejalan dengan program pemerintah untuk revitalisasi kejayaan jalur rempah. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tengah merevitalisasi kejayaan jalur rempah. Upaya tersebut tentu bukan sekedar untuk bernostalgia dengan kejayaan masa lampau. Lebih dari itu, merevitaliasi jalur rempah adalah upaya untuk menggali dan merawat keragaman hayati nusantara.
Revitalisasi dan agrowisata cengkeh dapat dipadukan dalam pengembangan pariwisata superpremium Labuan Bajo. Meskipun produksi cengkeh di destinasi superprioritas Labuan Bajo Flores tidak sebanding dengan produksi cengkeh di daerah lain, namun daya tarik wisata superpremiun menjadi peluang untuk diplomasi rempah cengkeh ke pada wisatawan global.
Kejayaan cengkeh yang dihantui petaka
Rempah cengkeh menjadi andalan kejayaan rempah Indonesia dalam perdagangan dunia. Namun demikian, kisah rempah cengkeh bukan tanpa masalah. Pada masa penjajahan Belanda, VOC memonopoli perdagangan rempah cengkeh. Tidak sebatas memonopoli perdagagangan, VOC bahkan membabat tanaman cengkeh di luar wilayah yang telah ditetapkan sebagai areal produksi cengkeh.
Melalui ekspedisi Hongi, VOC menghancurkan pohon-pohon cengkeh di luar wilayah Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Mansyur, 2014: 1-76). Kemudian, dalam perjalanan selanjutnya, Belanda mulai mendepak rempah-rempah dan beralih ke komoditas lain seperti kopi, teh, coklat, dan tembakau (Rahman, 2019: 347-362).
Ketika bangsa Indonesia merdeka, monopoli perdagangan cengkeh terulang kembali. Orde Baru membentuk Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) melalui Inpres sebagai lembaga perantara, yang memasarkan cengkeh produksi petani ke industri pengguna cengkeh. BPPC menjadi pengontrol satu-satunya di industri cengkeh. Harga cengkeh turun drastis hingga Rp.2.000,- per kilogram. Bahkan, pernah mencapai titik terendah, Rp.250,- per kilogram.
Banyak petani cengkeh kecewa dan tidak sedikit para petani yang menebang tanaman cengkehnya. Areal cengkeh petani raknyat berkurang dari 500 ribuan hektar (tahun 1982-1994) menjadi 400 ribuan hektar pada tahun 1995 (hingga tahun 2013). Areal cengkeh petani baru balik ke 500 ribuan hektar beberapa tahun setelah pembubaran BPPC, mulai tahun 2014 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).
Monopoli perdagangan cengkeh bukanlah satu-satunya tantangan dalam budidaya rempah cengkeh. Masalah lain yang mengintai adalah harga yang tidak menentu. Sesekali harga cengkeh melambung tinggi. Lalu, ketika produksi cengkeh relatif stabil kembali, harga cengkeh cenderung mencekik para petani. Pihak terkait beralasan bahwa harga ditentukan oleh mekanisme pasar. Sementara itu, masyarakat sudah bergantung pada hasil penjualan cengkeh untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Situasi tersebut misalnya terjadi juga pada sebagian besar petani cengkeh di Kecamatan Kuwus. Pada tahun 1990-an sebagian besar pohon cengkeh dibabat dan digantikan dengan komoditas lain. Beruntung masih ada yang membiarkan tanaman cengkehnya walau tanpa perawatan intensif.
Ketika harga cengkeh melambung tinggi setelah pembubaran BPPC, beberapa petani yang tidak menebang tanaman cengkehnya meraup penghasilan yang tinggi. Petani lain pun tergiur dan mulai bersemangat lagi untuk menanam cengkeh. Komiditi yang lain dikorbankan dan lahannya ditanami cengkeh.
Kini, tanaman cengkeh menjadi andalan. Namun, kadang harganya mencekik para petani. Belum lagi perubahan iklim turut mempengaruhi produktivitas cengkeh. Bahkan, pada musim tertentu cengkeh tidak berbuah.
Menangkap peluang wisata superpremium
Pemerintah telah menetapkan lima destinasi pariwisata yang dijadikan superprioritas, yaitu Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Likupang dan Labuan Bajo Flores. Untuk destinasi pariwisata Labuan Bajo Flores, pemerintah telah menetapkan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2018 dengan 11 wilayah kordinatif, yakni kabupaten-kabupaten di daratan Flores, Lembata, Alor dan Bima.
Ekowisata merupakan tren pariwisata global beberapa tahun terakhir. Beriringan dengan pengembangan pariwisata superpremium, salah satu yang bisa dikembangkan adalah agrowisata rempah nusantara. Destinasi pariwisata superprioritas Labuan Bajo juga berpeluang untuk mengembangkan agrowisata rempah cengkeh.
Meskipun produksi cengkeh tidak sebesar provinsi lain, namun sentra budidaya cengkeh di Nusa Tenggara Timur berada dalam kawasan pariwisata superpremium. Sebagai gambaran, total produksi cengkeh Provinsi NTT sebesar 3.169 ton pada tahun 2016. Sebagian besar pasokan cengkeh NTT tersebut berasal dari kabupaten yang berada dalam wilayah pengembangan pariwisata superpremium, yaitu Manggarai Timur 770 ton, Sikka 443 ton, Ende 382 ton, Manggarai Barat, 376 ton dan Manggarai 362 ton.
Relatif dekat dari Labuan Bajo, Kecamatan Kuwus dan Kuwus Barat berpotensi untuk agrowisata cengkeh. Kecamatan Kuwus dan Kuwus Barat merupakan penghasil cengkeh terbesar di Kabupaten Manggarai Barat. Produksi cengkeh Kabupaten Manggarai Barat sebagian besar (50-an%) berasal dari Kecamatan Kuwus dan Kuwus Barat.
Ketika harga cengkeh tidak menentu dan juga hasil panen juga tidak stabil, salah satu peluang yang bisa menjadi alternatif adalah pengembangan agrowisata rempah cengkeh. Petani cengkeh didampingi untuk menangkap peluang pariwisa superpremium ini. Pengembangan agrowisa rempah cengkeh ini mengandaikan keterlibatan banyak pihak.
Pengembangan agrowisata rempah cengkeh dalam kawasan pariwisata superpremium ini tentu akan memperkaya destinasi serentak merawat kejayaan rempah negeri ini. Pengembangan destinasi pariwisata kiranya juga menjadi jalan untuk menggali dan merawat potensi keragaman hayati, termasuk rempah cengkeh melalui agrowisata.